-->

Kisah Mualaf, Pencarian Kebenaran dari Negeri Viking Norwegia

Kisah Mualaf, Pencarian Kebenaran dari Negeri Viking Norwegia


Mualaf


Semenjak tinggal di Polandia saya banyak dipertemukan dengan mualaf. Alhamdulillah sebuah nikmat menguatkan hati yang rapuh manakala gelombang fitnah terus menyebar di semua sisi hidup. Allah SWT

Abu Aisha, suami saya sendiri adalah seorang mualaf. Terlahir dari sebuah keluarga Katolik di Legionowo, Polandia di bulan Juni atau jatuh pada bulan Syaban dalam penanggalan hijriyah .

Menyelesaikan pendidikan tehnik di ibukota Warsawa telah membuka pikirannya tentang orang - orang Muslim yang kelak pandangan ini membawanya pada hidayah di negeri Viking, Norwegia.

Menceritakan sepenggal perjalanan beliau bermaksud agar kita memahami bahwa hidayah Islam itu harus dijaga dengan ilmu dan doa. Gelombang fitnah akhir zaman semakin keras. Bila tak ada pegangan, perlahan iman bisa terhempas atau bahkan hancur. Naudzubillahmindzalik.

…Jauh bahkan beberapa tahun sebelum Allah mempertemukan kami, beliau telah menjadi Muslim. Memilih dipanggil Abdullah dengan tetap mengikat nama keluarganya, Pisarzewski…

Saya jadi mengingat cerita yang dulu menyebar bahwa karena sayalah beliau menjadi Muslim. 
Ini adalah kebohongan yang luar biasa. Di awal pernikahan banyak yang menyangsikan keislaman beliau. 
Di awal pernikahan pula saya begitu tertekan mendengar ocehan sana sini tentang rupa beliau yang begitu Eropa yang dianggap karena faktor pernikahanlah Islam itu di hati.

Jauh bahkan beberapa tahun sebelum Allah mempertemukan kami, beliau telah menjadi Muslim. 
Memilih dipanggil Abdullah dengan tetap mengikat nama keluarganya, Pisarzewski. Saya yang perempuan asing ini hanya dikenal kurang lebih tiga bulan. 
Bila beliau menjadi Muslim karena saya, secepat itukah orang berpindah keyakinan?

Ketika hidayah itu datang, beliau menceritakan dengan penuh rasa haru bagaimana hari, bulan dan tahun mulai berubah penuh kegembiraan. Seakan kalimat yang ingin keluar adalah, hidayah Islam membuat beliau terlahir sebagai manusia yang mengerti tujuan hidup .

Norwegia. Ya, di tanah Viking ini hidayah ini bermula. Interaksi beliau dengan orang-orang Palestina, Yordania, dan Somalia membawa pengaruh pada pandangan beliau terhadap orang- orang Muslim.Di waktu yang sama fitnah terhadap Islam begitu memuakkan di Eropa. Meskipun demikian tak ada keraguan meniti jalan hidayah .

Menjawab semua tanya di hati, tentang tujuan hidup dan konsep tauhid yang benar akhirnya bermuara pada keputusan final untuk kembali kepada Islam. Keputusan ini mendatangkan tanggung jawab yang besar, namun hati yang telah dibimbing tak sedikit pun ragu walau kesendirian dan keterasingan datang bertubi-tubi.

…Norwegia. Ya, di tanah Viking ini hidayah ini bermula.

Tak pernah terpikir bahwa dari darah Pisarzewski, Allah memberi hidayah kepada beliau. Dari Serock sampai ke Legionowo tak pernah beliau mengenal Islam apalagi wajah umat Islam. Semuanya tentang Islam tak pernah ada cerita.

Dan ketika beliau menjadi Muslim cerita tentang Islam di keluarga Pisarzewski dimulai. Ketika Islamphobia begitu marak bahkan sampai ke sekolah- sekolah, seorang keponakan laki-laki yang duduk di sekolah setingkat SMU memberikan pembelaan. Saat itu ada guru yang mengatakan tentang orang -orang Muslim yang barbar dan tidak mengenal peradaban.

Pemuda ini berdiri dan memberikan pembelaan (semoga Allah menunjukkan jalan kebenaran padanya).

“Apa yang guru katakan tentang orang-orang Muslim adalah karangan kebencian. Paman saya seorang Muslim dan saya pastikan dalam keluarga kami dia seorang yang baik dan penuh sopan santun .”

“Apakah ia seorang Polish (orang Polandia) ?

“Ya, ia berdarah 100% Polandia.”

Saya adalah muslimah Indonesia yang bersuamikan mualaf dari Polandia. Hidayah menyapa laki-laki yang kini menjadi suamiku bukan karena pernikahan. Ia mendapat hidayah dari negeri Viking, Norwegia.

Peristiwa-peristiwa yang saya dengar dan saksikan di perjalanan semakin membuat diri ini berpikir bahwa sungguh Allah Maha Memberi Petunjuk bagi siapa yang Dia kehendaki.

Kisah Ramadhan pertama bagi seorang mualaf selalu mengingatkan saya pada penuturan Abu Aisha, suami sendiri.

Beliau bertutur bahwa beberapa bulan setelah peristiwa syahadat, datanglah bulan suci ini. Ini adalah Ramadhan pertama baginya. Di Norwegia, waktu puasa sangat panjang kurang lebih 22 jam, beliau berteguh hati berpuasa dan tetap bekerja.

Di hari pertama puasa beliau merasakan sakit kepala yang bertubi-tubi. Tubuh memulai perjalanan keikhlasan mengenal Rabbnya. Tidak seperti kita yang terlahir sebagai Muslim dan telah dilatih sejak kecil untuk berpuasa, Abu Aisha memulai segalanya ketika ia dewasa. Pun ketika hari raya tiba, kebanyakan dari kita berkumpul dengan keluarga.

Tidak demikian dengan Abu Aisha. Ia tidak punya kerabat Muslim sama sekali. Akhirnya beliau memutuskan bersilahtuhrahmi ke satu keluarga Palestina yang sudah lama akrab semenjak beliau menjadi Muslim. Di situlah, ada kesendirian yang terobati.

…Di Norwegia, waktu puasa sangat panjang kurang lebih 22 jam, beliau berteguh hati berpuasa dan tetap bekerja…

Bacaan Qur’an beliau waktu itu belum lancar. Beliau bercerita bagaimana cara supaya bisa membaca huruf-huruf Arab itu. Setiap hari di waktu- waktu senggang setelah bekerja yang menguras tenaga, duduklah beliau berselancar di internet dan Alhamdulillah menemukan cara belajar membaca Al- Quran seperti metode iqra yang biasa kita kenal. 

Seperti anak -anak, beliau mengeja dan menghapal setiap hari, menulis di buku, dan mengulang-ulang video untuk menirukannya,

Ikhtiar ini membawa hasil. Alhamdulillah beliau tak lagi shalat sambil memegang mushaf Al-Qur’an. Setelah bisa membaca tulisan Arab, beliau dengan cepat menghapal surat -surat pendek walau tajwid belum begitu lancar.

Hubungan dengan keluarga tak terputus walau beliau telah menjadi Muslim. Alhamdulillah keluarga Pisarzewski adalah keluarga yang terbuka. Walaupun sempat timbul perasaan terkejut namun mereka menerima keputusan beliau menjadi Muslim.

Secara umum, generasi yang lahir di tahun 70-80-an di Polandia memasuki gelombang dasyat bernama atheisme. Beberapa memilih percaya Tuhan namun tak menganut agama apapun. 

Abu Aisha berada dalam kelompok ini yaitu percaya kepada Tuhan namun tak menganut agama, walaupun terlahir dari keluarga Katolik. Kondisi ini bertahan sampai cahaya itu hadir dan beliau memilih Islam sebagai agama dan jalan hidup.

Kondisi ini mementahkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar. Bila semua agama itu benar, tentu selamanya beliau berpegang kepada konsep Agnostik. Padahal telah jelas pembeda antara yang haq dan batil. 

Banyak yang mencoba merayu beliau untuk ragu dengan ajaran Islam dengan mengatakan semua agama adalah benar. Bagi Abu Aisha pemikiran semacam ini adalah pemikiran orang -orang yang linglung. Beliau menyebutnya dengan orang yang berakal abu-abu. Hitam tak jelas, putih pun bukan pilihan.

Bila kita ragu kepada Islam maka sudah saatnya kita belajar, berikhtiar mencari ilmu agar kita tak merugi di akhir hayat. Di saat sebagian besar orang- orang Eropa berjalan mencari kebenaran, jangan sampai kita yang terlahir sebagai Muslim begitu mudah mencampakkan nikmat ini karena kebodohan akibat tak memiliki ilmu untuk menjaga hidayah ini.

Mualaf adalah cermin sejati proses pencarian kebenaran. Perjalanan mereka adalah pelajaran hidup tentang pencarian hakiki sebuah hidayah. Bila hati kita rapuh mendekatlah pada kisah mereka. Kisah yang bukan fantasi pikiran melainkan kisah orang- orang yang diberi petunjuk. Semoga hidayah ini kita genggam sampai akhir di detik nafas kita saat tak bisa lagi bicara.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Kisah Mualaf, Pencarian Kebenaran dari Negeri Viking Norwegia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown